Kamis, 04 November 2010

Bermain adalah Belajar Anak

Seorang guru Play Group dalam rapat harian melaporkan pada kepala sekolah, “bu kepala, tolong dalam pertemuan orang tua nanti, dibahas tentang hakikat pendidikan pra sekolah ya, terutama difahamkan pada ibu-ibunya. Saya sering melihat salah seorang ibu yang memaksa bahkan mencubit anaknya karena tidak mau terlibat dalam pembelajaran dan asyik bermain balok.” Seorang guru lain menambahkan,”iya bu, sepertinya harus segera di jelaskan. Ada kasus lain lagi bu, ketika saya menanyakan pada mama Arif kenapa Arif tidak bisa ikut tamasya minggu depan, alasannya, karena Arif ikut les privat membaca dan matematika.”

Cerita di atas adalah sebuah realita di sekitar kita. Bahkan mungkin sebenarnya lebih parah dari itu. Jika pada cerita tersebut sepertinya kedua guru sudah memahami hakikat pendidikan anak usia dini, bisa jadi pada kenyataannya masih banyak para pendidik anak usia dini sendiri yang belum faham tentang hakikat pendidikan anak usia dini. Terlebih lagi para orang tua yang tidak memiliki latar belakang keilmuan tentang pendidikan anak usia dini. Kebanyakan mereka terlalu memaksakan anaknya untuk ”belajar” sesuatu dengan metoda konvensional yang diterapkan untuk orang dewasa saja sudah tidak efektif lagi. Duduk, diam, dengarkan, tulis dan bacakan kembali, itulah yang dikatakan sebagai belajar. Jika diterapkan pada orang dewasa mungkin mereka mampu protes dan menuntut tehnik pembelajaran lain yang lebih menarik. Tapi apa daya anak-anak, mereka tidak bisa melawan. Apalagi dengan ancaman cubitan atau bahkan pululan.

Sebuah Teori Tabularasa memang menyatakan bahwa anak-anak diibaratkan seperti kertas kosong yang bisa diisi apapun. Ya, memang benar, demikian luar biasanya anak-anak, sampai-sampai mereka bisa menghafal banyak hal di luar kepala. Dengan asumsi tersebut, beramai-ramailah orang tua mengisi kertas kosong tersebut. Dan akhirnya, anak-anak pun tumbuh seperti kertas berisi berbagai ilmu yang kumpulannya bisa membentuk sebuah buku. Mungkin terlihat tebal dan pintar. Tapi kaku dan pasif. Tak bisa bergerak dan berbuat. Bukan wahai para orang tua, mereka bukanlah kertas. Mereka bukan pembelajar pasif. Tapi mereka pembelajar aktif. Tahukah wahai para orang tua, banyak teori belajar lain yang lebih moderen telah dilahirkan. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa anak adalah pembelajar aktif. Setiap pori-pori tubuh mereka menyerap apa yang mereka lihat, dengar, sentuh, dan apapun yang berinteraksi dengan mereka. Hebatnya lagi, mereka menganalisis dari setiap interaksi mereka dengan lingkungannya. Tapi sayang, kehebatan itu kita sia-siakan. Kita patahkan dengan tehnik belajar yang tidak sesuai. Mereka kita bentuk, bukan kita arahkan. Mereka kita isi, bukan kita fasilitasi. Strategi belajar terbaik bagi mereka adalah adalah apa yang kita namakan dengan bermain. Bukan duduk, diam, dengarkan dan hafalkan.

Orang tua pasti bangga ketika anaknya yang masih usia TK sudah bisa membaca dan berhitung. Orang tua pasti semakin bangga ketika anaknya yang masih kecil itu bisa menghafal berbagai kosa kata dalam bahasa Inggris. Orang tua pasti lebih bangga lagi jika memiliki anak yang selalu menurut ketika di suruh duduk di meja belajar menghafalkan segala sesuatu yang dianggap perlu. Mengikuti berbagai les yang melelahkan. Tapi tahukah anda wahai para orang tua, bahwa kebanggaan anda, bahwa kebahagiaan anda sungguh membuat anak-anak anda menderita! Orang tua pasti jengkel ketika ada anaknya yang aktif bergerak, menaiki meja, memegangi benda yang menarik dan baru dilihatnya, menggigit dan mengulumnya atau membongkar mainan yang baru di beli. Orang tua pasti semakin jengkel ketika ada anaknya yang menggambar tidak sesuai dengan perintah ibu gurunya. Orang tua pasti sangat jengkel ketika ada anaknya yang terus menerus bertanya tentang sesuatu yang dia lihat. Orang tua pasti lebih jengkel lagi ketika rumah berantakan setelah anaknya dan teman-temannya bermain dokter-dokteran. Orang tua pasti sangat lebih jengkel lagi ketika anaknya lebih asyik bermain galah di lapangan atau sekedar bermain sepak bola dari pada duduk di meja belajar dan membaca. Tapi tahukah anda wahai para orang tua bahwa seharusnya anda berbahagia karena anak anda bahagia dan karena kelak dia akan tumbuh menjadi individu yang kreatif dan cerdas. Karena sesungguhnya ketika dia sedang membuat anda jengkel, dia sedang belajar. Sebenar-benarnya makna belajar bagi dia.

Emma Yohanna : "Susah Saatnya Perempuan Berperan Aktif"

Mungkin setiap orang akan bertanya kenapa hari Ibu mesti jatuh pada tanggal 22 Desember?. Apa yang diperingati pada tanggal 22 Desember itu?. Kenapa hari Ibu tidak jatuh pada tanggal 21 April, hari lahir Ibu Kartini. Background Histories melandasi peringatan hari Ibu tersebut dengan berkumpulnya para pejuang wanita untuk mengadakan Kongres Perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di kota Yogyakarta. Kongres Perempuan saat ini lebih dikenal dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun, organisasi perkumpulan wanita ini sendiri sudah terbentuk sebelumnya sejak tahun 1912 dengan diilhami perjuangan tokoh-tokoh wanita.

Dalam memperingati hari Ibu saat ini, kita mesti mereflikasikannya dalam kehidupan keseharian. Jangan hanya sekedar serimonial semata. Saat ini perempuan mesti mampu memperlihatkan kemampuannya di tengah-tengah masyarakat untuk mengabdikan diri kepada bangsa. Demikian ungkap anggota DPD-RI Periode 2009-2014 Emma Yohanna kepada Padang-Today.Com saat dihubungi via handphone beberapa saat yang lalu. "Sudah saatnya kita bisa untuk mendapatkan hak-hak ikut serta memainkan peran mengabdi kepada masyarakat," ungkap tokoh wanita yang selalu aktif di berbagai kegiatan sosial. Mantan alumni Diniyyah Puteri Padang Panjang, Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dan STBA Prayoga Padang ini, sejak menjadi mahasiswa, sangat "gandrung" kegiatan-kegiatan sosial dan organisasi perempuan.

Dikatakan Ketua Yayasan Pendidikan Citra Al-Madina Padang ini, masalah kekerasan dalam keluarga yang selalu terjadi mesti kita dijadikan sebagai acuan untuk merubah ke arah lebih baik lagi. Jangan ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum ibu. Oleh sebab itu, pergunakanlah hak dan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Saat ini kita mesti memperlihatkan kemampuan diri kita. "Sebagai seorang ibu dan meskipun kita sebagai kaum perempuan yang ikut serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kita mesti tahu kapan saat tugas di rumah dan kapan saat beraktifitas sosial di tengah-tengah masyarakat. Terakhir, kita mesti tahu kapan saat berkomunikasi bersama keluarga," tutup seorang Ibu yang pernah berproses sebagai Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumatera Barat, Wakil Ketua Forum Anak Usia Dini Sumbar, Wakil Ketua Puskowan Sumbar, Wakil Ketua Ikatan Wanita Keluarga Agam Padang, Wakil Ketua Ikatan Keluarga Pasaman Barat, Wakil Bendahara ICMI Sumbar, Bendahara Iluni IAIN Imam Bonjol Padang, Presidium KAHMI Sumbar, Wakil Ketua HWK Sumbar.